Raden Husain (حســـــــــــــين) yang dalam pelafalan bahasa Jawa disebut Kusen dalam babad Tanah Jawi disebut sebagai anak dari Arya Damar seorang Adipati Palembang dengan seorang Istri asal Cina bernama Banyowi.
Banyowi pada mulanya merupakan Selir dari Raja Majapahit, kemudian sang Raja menghadiahkannya pada Adipatinya di Palembang.
Ketika Banyowi diserahkan ke Arya Damar diketahui bahwa Banyowi rupanya dalam keadaan mengandung anak dari Raja Majapahit (Brawijaya VI/Bre Kertabhumi). Anak Banyowi dan Brawijaya VI itu kemudian kelak dinamai Fatahilah (Raden Fatah Pendiri Kesultanan Demak).
Sementara itu hasil perkawinan Arya Damar dengan Banyowi melahirkan seorang putra yang diberi nama Husian, atau Raden Husain. Dengan demikian maka dapatlah dipahami Raden Fatah dan Raden Husain merupakan kakak beradik dari Bapak yang berbeda.
Baca Juga:
Sementara itu menurut Naskah Cirebon (Mertasinga), ternyata menginformasikan berbeda, dalam naskah ini, dikatakan bahwa Arya Damar ketika menjadi Adipati Palembang beliau tidak mempunyai seorang anak laki-laki, sehingga ia kebingungan mengenai siapa yang kelak menggantikan kedudukannya sebagai Adipati.
Hingga suatu saat datanglah seorang Cina Muslim bernama San Po Talang versi lain menyebutnya Pai Len Pang, San Po Talang Mengabdikan hidupunya di Palembang hingga kemudian beliau dinikahkan dengan anak perempuan Arya Damar (nama tidak disebutkan).
Setelah perkawinan San Po Talang dan putri Arya Damar digelar, kemudian Arya Damar menunjuk San Po Talang Sebagai pewarisnya, San Po Talang dilantik menjadi Adipati Palembang dengan gelar Arya Palembang.
Penalantikan San Po Talang sebagai Adipati Palembang Baru ini disetujui oleh pemerintah Pusat Majapahit, oleh karena itu Brawijaya VI kemudian mengirimkan Banyowi untuk dihadiahkan ke Arya Palembang.
Dengan demikian, menurut naskah Cirebon diketahui bahwa Raden Husain merupakan anak dari Arya Palembang dan Banyowi, bukan merupakan anak dari Arya Damar.
Setelah Arya Damar masuk Islam dan lagipun Arya Palembang juga seorang Pemeluk Islam maka untuk kemudian meskipun Palembang waktu itu merupakan bawahan Majapahit yang beragama Hindu-Budha Istana keadipatipatian Palembang berciri khaskan Islam.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika nama-nama pangeran yang lahir dari Keadipatian Palembang ini menggunakan nama Arab seperti Raden Fatah (Fatahilah) dan Raden Husian (Kusen).
Berdasarkan kisah dari kedua sumber sejarah di atas (Naskah Jawa dan Cirebon) dapatlah dipahami mengapa kemudian masa dewasa Raden Husian dan Raden Fatah dihabiskan di Jawa.
Jawabanya dimungkinkan karena yang menjadi pewaris atau penguasa Palembang adalah anak-anak dari hasil perkawinan Arya Palembang dan putri Arya Damar, sementara anak-anak dari perkawinan Arya Palembang dan Banyowi kemudian berkarir di Jawa, apakah itu Raden Fatah maupun Raden Husain.
Kita kembali ke fokus bahasan utama, yaitu mengenai riwayat dari Raden Husain, menurut Babad Tanah Jawi maupun Naskah Mertasinga, Raden Husain dilahirkan di Palembang, masa kecilnya dihabiskan di Istana Palembang, kemudian setelah dewasa dikabarkan belaiu menjadi Pecut Tanda (Pegawai Pajak) di Terung (Kedaipatian Terung, Kini Masuk Wilayah Kab Sidoarjo Jawa Timur).
Karir Raden Husain kemudian meningkat seiring baiknya tugas-tugas yang diembannya sebagai Pecut Tanda, setelah sekian lama mengabdikan diri sebagai Pecut Tandha beliau kemudian diangkat menjadi Adipati di Terung.
Raden Husein hidup di jaman-jaman akhir kerajaan Majapahit dan munculnya Kesultanan Demak. Nama Raden Husain semerbak dan menjadi terkenal dan diceritakan dalam naskah-naskah klasik diakibatkan keterlibatanya dalam perang Majapahit Vs Demak.
Diceritakan dalam naskah Mertasinga, bahwa Raden Husain dalam perang Majapahit Vs Demak diangkat menjadi Panglima Perang, ketika Raden Husain menjadi pebanglima perang kerajaan Majapahit Raden Husain tercatat pernah melululantakan pasukan Kerajaan Demak, bahkan panglima kerajaan Demak yaitu Pangeran Undung yang tak lain merupakan ayah dari Sunan Kudus terbunuh olehnya.
Meskipun diawal-awal pertempuran Majapahit memperoleh kemenangan yang gemilang, akan tetapi peperangan-peprangan selanjutnya Majapahit ternyata dapat dikalahkan Demak bahkan Istana Kerajaan Majapahit (di Trowulan) berhasil direbut.
Dalam naskah mertasinga disebutkan dalam peperangan ke II setelah Demak dikalahkan, Raden Fatah mengagkat Sunan Kudus sebagai Panglima Perang, dan berhasil mengalahkan Kerajaan Majapahit dan menaklukanya, kemudian Istana Majapahit dapat dikuasaianya, adapun sang Raja Majapahit (Brawijaya VI) dikabarkan moksa (Bisa juga diartikan melarikan diri dan memindahkan Ibu Kota Majapahit ke Daha (Kediri)) meninggalkan Istana.
Setelah ditaklukannya Majapahit oleh Demak, kemudian naskah Mertasinga mengabarkan bahwa Adipati Terung masih hidup dan mengundurkan diri ke Terung.
Setelah peristiwa pengunduran diri Raden Husain ke Terung itulah kemudian kisah mengenai Raden Husain terputus, tidak ada naskah manapun sejauh pengetahuan penulis yang menceritakan tentang akhir hayat sang Adipati Terung itu.
Namun demikian, baru-baru ini penulis menemukan buku yang sedikit mengupas tentang akhir hayat Raden Husain, buku tersebut merupakan karya Prof Agus Aris Munandar dkk, yang mana dalam buku yang berjudul “ Cimanuk Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Budaya” itu didalamnya disebutkan bahwa:
Setelah kekalahan Majapahit oleh Demak Adipati Terung untuk kemudian melairkan diri ke Cimanuk wilayah kerajaan Sunda (Sekarang Indramayu) di Cimanuk Adipati terung kemudian menikah dengan seorang wanita asli penduduk Cimanuk (tidak disebutkan namanya).
Dari perkawinannya dengan wanita Sunda ini kemudian Adipati Terung memiliki anak, dan keturunanya kemudian sekarang masih tersebar di wilayah Indramayu. Adapun silisalah keturunan Adipati Terung adalah sebagai berikut:
1. Raden Husain (Adipati Terung)
2. Ki Gede Baludan
3. Banjaran Sari
4. Ki Lodak (Pengajang)
5. Menjangan Abang (Ki Gede Paoman)
Menjangan abang yang kelak menjadi penguasa di Paoman itu diceritakan sebagai keturunan dari Raden Husain, Paoman sekrang merupakah sebuah desa yang berada di Pusat Kota Indramayu yang dahulu merupakan tempat tinggal para pegawai Pelabuhan Cimanuk masa kerajaan Sunda, Paoman sendiri berasal dari kata Umah/Omah (Rumah) yang bermaksud perumahan.
Meskipun dalam buku karya Prof Agus Aris Munandar dkk (2016: 62-63) dinyatakan bahwa akhir hayat dari Adipati Terung berakhir di Cimanuk, akan tetapi tidak ditemukan makam atau pusara dari Adipati Terung di Indramayu.
Dan setelah penulis melakukan penelusuran situs Makam di Terung, ternyata didapat bahwa di bekas ke Adipatian Terung tepatnya di Kab Sidoarjo Jawa Timur terdapat situs makam yang diyakini sebagai makan dari Raden Husain atau Adipati Terung.
Makam Adipati Terung di Bekas Keadipatian Terung, Kab Sidoarjo |
Apakah makam tersebut benar-benar makam Raden Husain atau tidak memang perlu penelitian lebih lanjut, mengingat Adipati Terung tentunya bukan hanya Raden Husaian saja melainkan banyak.
0 comments:
Post a Comment