Syekh Yusuf al-Makasari al-Bantani merupakan pahlawan Nasional Indonesia dari kalangan Ulama, beliau pada awalnya merupakan Mufti Kesultanan Gowa yang menjabat pada masa Sultan Hasanudin. Ketika Kerajaan Gowa ditaklukan Gabungan VOC Belanda dan Arung Pallaka (Kerajaan Bone) pada 12 Juni 1669, Syekh Yusuf kemudian hijrah ke pulau Jawa, di Jawa beliau meminta perlindungan Banten, dan di Banten kemudian beliau diangkat menjadi Mufti Kesultanan Banten, Pada masa ini Banten sedang diperintah oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Namun nasib buruk pada nyatanya menimpa Syekh Yusuf, jika dahulu beliau menyaksikan kehancuran Negara kelahirannya Gowa, maka sewaktu beliau menjabat sebagai mufti di Banten, beliaupun sama menyaksikan keruntuhan Rezim Sultan Ageng, lagi-lagi karena penghianatan, sebagaimana diketahui pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji yang merupakan anak Sultan Ageng sendiri, tercatat bersekutu dengan Belanda untuk dapat merebut tahta ayahnya, dalam perang ini, tentara Sultan Haji yang dibantu VOC Belanda kemudian dapat merebut tahta bapaknya, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian di tangkap dan meninggal dalam penjara di Batavia.
Dalam perperangan di Banten, Syekh Yusuf berperan aktif dalam peperangan, bersama santri-sasntrinya beliau turut serta membantu Sultan Ageng Tirtayasa, bahkan setelah tertangkapnya Sultan Ageng, Syekh Yusuf terus gencar mengadakan perlawanan, sebelum akhirnya tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke Srilangka, dan untuk kemudian Dibuang lagi Ke Afrika Selatan hingga kewafatannya pada 23 Mei 1699 di Afrika Selatan.
Belum banyak tulisan sejarah mengenai keheroikan perlawanan Syekh Yusuf dalam menghadapi tentara Sultan Haji dan VOC Belanda ini, untungnya naskah Cirebon mengabarkan tentang ini.
Kepopuleran pemberontakan yang dipimpin Syekh Yusuf di Cirebon ini dikarenakan setelah kekalahan Sultan Ageng Tirtayasa Oleh anaknya sendiri di Banten, rupanya Syekh Yusuf mengundurkan diri Ke Cirebon, dan menyusun kekuatan untuk kembali mengadakan perlawanan besar-besaran.
Perang besar antara VOC dan Syekh Yusuf ini meletus di pinggiran wilayah Kesultanan Cirebon tepatnya di sebelah barat Desa Conggalis. Kejadian sejarah tersebut itulah yang pada nantinya menjadi sasaran tembak para penulis dan cendikiawan di kesultanan Cirebon.
Kisah mengenai pemberontakan Syekh Yusuf yang kejadiannya dipinggiran wilayah kekuasan Cirebon ini dapat anda temui dalam naskah Mertasinga Pupuh LXXXIII.16-LXXXIV.02. Perhatikan potongan teks alih aksara naskah berikut ini:
Dalam Naskah Mertasinga Pupuh LXXXIII.16-LXXXIV.02 dikabarkan bahwa Syekh Yusuf dilukiskan sebagai seorang ulama berperawakan Arab (Keturunan Arab).
Pemberontakan Syekh Yusuf ini berlangsung di wilayah pinggiran kekuasaan Kesultanan Cirebon tepatnya disebelah barat desa Conggilis. Beliau dibantu para pengikut setianya yang kebanyakan merupakan santri-santrinya. Perlawanan sungguh sangat sengit.
Tentara Belanda yang melakukan penumpasa dipimpin oleh Kapiten (di baca Kapten) Rusu dan Kumendur, serta dibantu oleh orang-orang Cirebon yang Pro Sultan Haji pasukan Cirebon itu dipimpin oleh Ki Astradipa, Purbajaya dan Ki Anggasari. Dalam peperangan pertama rupanya tentara Syekh Yusuf berhasil memenangkan pertempuran, bahkan salah satu pangeran Banten (Kubu Pro Sultan Haji) dikabarkan tewas.
Dengan tewasnya salah satu pangeran tersebut, kemudian VOC merasa gagal, dan untuk kemudian mengutus Kapitan Eras dan Kapitan Jongker untuk memadamkan pemberontakan.
Pada perang sesi ini, tentara Syekh Yusuf berhasil ditumpas, dan kemudian Syekh Yusuf berhasil di tangkap dan dibawa kebatavia. Di Batavia beliau dipenjara dan diperlakukan dengan buruk, beliau disiksa, disiram dengan arak, anggur, bukan itu saja beliau juga diguyur dengan air kotoran anji*ng. Dan kemudian untuk memadamkan pemberontakan pengikutnya, Syekh Yusuf di Isukan oleh Belanda meninggal dalam benteng Batavia.
0 comments:
Post a Comment